DEMA FDK

Website Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suska Riau

ANAK SAYA MANA ?

Oleh Wrekudara Antasena a.k.a. BYP

Pemerintah, anak saya mana? Kalau sudah meninggal, tolong katakan pada saya agar saya tidak berharap. Tapi, jika dia masih hidup, saya akan menunggu selamanya.

Juru Bicara – Pandji Pragiwaksono

Seperti biasa, siang itu aku kembali keluyuran di jalan, bergegas pulang kerumah setelah dari kantor redaksi surat kabar tempatku biasa mengirimkan hasil karanganku. Semangat yang sudah terkuras, akibat panasnya hari ini. Aku berjalan di hamparan manusia yang penuh sesak.

Tak lama di sebuah perempatan jalan, aku terkejut dengan hal yang tak biasa kulihat. Di perempatan kiri jalan, aku melihat orang-orang berdemonstrasi atas meroketnya harga bahan pokok, anjloknya nilai tukar rupiah. Sementara Presiden hanya berkata bahwa rakyat harus sabar dan rela berkorban, tanam jengkol saja katanya. Tentu ini membuat rakyat marah. Di depanku, penjarahan toko terjadi terutama penjarahan pada toko-toko bahan pokok.

Entah karena mereka memang sedang merampok atau mereka yang mengamuk karena dana bansos ditilap, atau mungkin malah mereka yang muak kepada para politisi yang malah pasang spanduk wajah mereka di jalan alih-alih membantu masyarakat, dan disebelahnya kulihat mereka, para korban tindakan kekerasan dan pelecehan seksual yang disalahkan oleh sesama mereka. Di perempatan kanan, para kaum borjuis, orang-orang kaya pemilik modal berpesta pora menikmati uang mereka.

Namun, ada saja kejadian yang mencengangkanku. Tak lama aku berjalan, kulihat seseorang dengan baju penuh tambalan mengaduk-aduk tong sampah. Diambilnya kulit mangga lalu dikunyahnya, sementara tangannya membungkusi sisa-sisa nasi ramas untuk dibawa pulang.

Terperanjat, aku berlari ke arahnya dan kubuangi kulit mangga itu dan membuang nasinya yang sudah berjamur. Kurogoh sakuku, kuberikan uang yang kupunya saat itu, Rp 50.000 dan kuletakkan di tangannya, kemudian aku lari.

Sampainya di rumah, aku terus terpikir kejadian tadi, betapa mengherankannya di tengah kemerdekaan ini masih ada orang yang berjuang mengisi perutnya dari tong sampah. Betapa mengerikannya hidup dikota, tidak seperti hal-hal indah yang berada di dalam film, tapi penuh penderitaan, muka-muka lesu sehabis pulang kerja, mental-mental yang tertekan, dan masih banyak lagi hal-hal mengerikan lainnya.

Kutulis tentang pengalamanku tadi, akan kumasukkan ke koran. Biar semua orang tahu, dibalik kesibukan mereka, mereka harus melihat kaum-kaum lemah yang tertindas, kaum-kaum miskin ini harus kita sejahterakan! Kita tidak boleh tamak! Dan itulah kerjaku sekarang, beberapa bulan ini, membuat karangan yang menyuarakan isi hati kaum-kaum lemah, agar mereka tak perlu menderita lagi.

Tapi aku kembali terkejut. Kulihat ada seorang anak yang ditendang karena mengorek-orek tong sampah restoran tempatku beli makan. Dia mencari makan juga rupanya. Kuberikan ia makanan yang aku beli tadi, lalu aku pergi.

Sambil berjalan, aku termenung : apa guna aku lakukan selama ini. Apa guna? Kemudian hatiku bertanya pada otakku : Hai kau Wrekudara yang agung, Sabda Alam yang terhormat, tak malukah kau? Kau ini munafik! Kau selalu menghimbau orang lewat tulisanmu untuk menolong mereka, tapi kau sendiri tak lakukan.

Dan begitulah, dalam perjalanan ini aku berpikir, apa yang sebenarnya kulakukan? Apa arti hidupku? Aku selalu berteriak dan menulis, “bahagiakan kaum miskin,” tapi aksi nyataku tidak ada. Kalau begitu, sama aja aku dengan para pejabat. Tak ada aksi nyata sama sekali. Wahai diri… bergeraklah dari tempatmu. Wahai pikiran… berpikirlah. Apa-apa saja yang harus kau lakukan dan kerjakan.

Aku memutuskan, aku harus turun ke jalan, aku harus berteriak lantang ke telinga para penguasa dan kaum kaya, maka aku pun berteriak dalam orasiku : “Mereka menyebarkan propaganda, ‘kita telah merdeka.’ Tapi tidak saudaraku, belum, belum saudaraku. Kita belum merdeka. Masih ada disamping kita orang yang bodoh, perut tak diisi nasi, listrik belum sampai, melarat sampai ke anak cucu. Belum saudaraku, belum. Kita belum merdeka. Soekarno, Hatta, Tan Malaka sudah jadi pelopor agar Indonesia bebas dari penjajahan asing, maka kita harus menjadi pelopor agar Indonesia Merdeka dari pembodohan dan jadi negara maju.” Tapi muncul sekelebat dalam kepalaku, ‘apa yang kulakukan? Apakah perjuangan ini berarti? Apa ada yang akan berubah? Apakah aku tidak membahayakan keluargaku?’

Tepat saat aku memikirkan itu, tiba-tiba para aparat berbadan tegap menyerbu kami, memukul mundur para demonstran. Kulihat temanku yang roboh terkena tembakan peluru, sementara aku kena pentungan di perut dan tengkuk.

Begitulah, kemudian nama rekan-rekanku terpampang di koran akibat tembakan aparat : Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendrawan Sie. Sementara yang dinyatakan hilang : Wiji Thuku, Petrus Bima Anugrah, Yani Muhidin, Yani Afri, dst. Sementara aku? Namaku tak masuk di daftar itu, namun jejakku dibumi sudah tak ada lagi. Tak ada lagi orang yang melihatku setelah itu. Hilang. Semua tulisanku yang pernah terbit dihancurkan, semua yang kenal denganku disogok agar tak bicara tentangku. Hilang. Aku menghilang.

Sementara dirumah, ibu dengan tak sabar menanti anaknya pulang. Matanya yang sembab menolak kalau anaknya dinyatakan hilang, “ia pasti pulang,” ujar sang ibu sambil menyiapkan makanan kesukaanku. Aku lihat ibu masih berdiri disana, dengan matanya yang sembab menungguku pulang. Namun, aku juga tidak tahu kapan aku bisa pulang dan memeluk ibu lagi, atau mungkin malah ibu yang menyusul, aku tidak tahu. Kini, ibu berdiri didepan istana setiap hari Kamis, dengan pakaian serba hitam dan payung hitam, bertanya, “anak saya mana?”


Tulisan ini saya tulis pertama kali pada tahun 2019 untuk mengikuti lomba cerpen disekolah saya, Alhamdulillah dapat juara dua. Cerita ini sendiri merupakan sebuah implementasi pembelajaran fiksi sejarah dan juga tulisan ini terinspirasi dari Aksi Kamisan yang tujuannya adalah mempertanyakan ketegasan pemerintah dalam pelaksanaan ham.

Dan tepat pada hari ini, Kamis 14 Oktober 2021 adalah Minggu ke-700 dalam pelaksanaan Aksi Kamisan. Semoga ada keajaiban bagi pemerintah untuk mengusut dan menindak kasus pelanggaran ham dengan hukum yang seadil-adilnya.

Hidup korban, jangan diam! Jangan diam, lawan!

Aksi Kamisan Pekanbaru. Menolak Pelemahan KPK. Photo by @aksikamisanpekanbaru
Aksi Kamisan Pekanbaru. Menolak Pelemahan KPK. Photo by @aksikamisanpekanbaru

Penulis : Bima Yusril
Editor : Adminfdk
Foto : Istimewa

ANAK SAYA MANA ?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top